Tak ada sarana sekolah terdekat/ memaksa para anak-anak desa terpencil di kecamatan lembang pinrang sulawesi selatan harus berjuang menaklukkan gunung demi gunung yang terjal, hutan belantara dan sungai dengan cara berjalan kaki hingga belasan kilometer setiap hari, agar bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kondisi medan yang sulit dan menyita tenaga membuat anak-anak ini praktis kehilangan kesempatan untuk bermain. Seluruh waktu mereka tercurah habis di sekolah dan diperjlanan sebelum tiba di rumah menjelang petang hari.
Inilah poteret dan tantangan kondisi pendidikan anak-anak desa terpencil di
desa letta kecamatan lembang pinrang sulawesi selatan. Desa yang terletak di
puncak pegunungan bakaru ini terletak sekitar 100 kilometer dari ibu kota
kabupaten pinrang. Agar bisa belajar serentak pukul 9.00 wita, anak-anak ini
harus meninggalkan rumah mereka sejak
subuh hari.
Berbekal baju kaos atau seragam dan sandal jepit, para siswa smp negeri
letta ini mislanya berusaha menaklukkan pegunungan demi pengunungan yang terjal,
hutan belantara, serta sungai yang dalam agar bisa sampai ke sekolah sebelum
pelajaran dimulai. Bagai siswa yang datang lebih awal biasanya memilih mengisi
waktu mereka untuk memberishkan ruangan atau berolahraga ringan seperti bermain
volly sambil menunggu siswa lain datang dari dusun yang lebih jauh terpencil.
Kondisi jalan setapak yang menghubungkan antar desa, dusun dan kecamatan di
lokasi ini membuat sarana transportasi massal seperti angkutan umum tak bisa menjangkau
wilayah ini. Hanya ada beberapa warga yang menawarkan sarana trasfortasi ojek
yang tarifnya cukup luayan. Maklum kondiis jalan yang berbukit dan licin
terutama saat hujan membuat tak semua warga bisa uji nyali berkendara motor di
jalur ini. Warga atau siswa yang memilih naik ojek dari rumah ke sekolah mereka
harus membayar tarif ojek yang lumayan Rp 50 ribu untuk sekali pergi.
Sarah, siswa smp negeri Letta asal dusun Kaluku ini mislanya setriap hari
harus berjalan kaki hingga 6 kilometer lebih agar bisa sampai ke sekolah. Sarah
harus meninggalkan rumahnya pukul 6.00 wita atau lebih cepat. Agar
perjalan tak melelahkan dan membosankan
para siswa yang tinggal terpisah di dusun lain ini kerap saling tunggu dengan
teman lain di perjalan. Agar bisa sampai lebih cepat anak-anak yang jalan
secara berkelompok ini kerap memilih jalur pintas seperti menyeberangi arealpemanatang
sawah dan bukit.
“Saya berangkat subuh hari ke sekolah agar tidak trelambat. Karena tarif
ojek mahal terpaksa jalan kaki berkelompok dnegan teman lainnya Sara, siswa
terpencil asal dusun Kaluku
Bagi siswa yang tinggal di dusun yang lebih jauh terpencil dari sekolah
tentu saja harus berangkat subuh hari. Rutinitas yang melelahkan dan menyita
hampir seluruh waktu para siswa ini sudah dilakoni sejak masuk sekolah. Tak ada
waktu bermain kecuali hari libur sekolah. Hampir seluruh waktu siswa di desa
ini habis di sekolah dan di perjalanan.
Meski kelelahan saat sampai di sekolah, para siswa ini tetap tampak
bersemangat mengikuti mata pelajaran hingga siang hari. Para siswa umumnya
pulang dan baru bisa berkumpul di tengah keluarga menjelang petang hari. Anak-anak
di desa ini hampir tak mengenal dunia bermain yang menjadi dunia anak-anak pada
umumnya.
Mendengar musik atau siaran radio di sepanjang jalan adalah satu-satunya
hiburan yang bisa mengusir rasa lelah mereka.
Hasniar, salah satu guru honorer yang sudah lima tahun mengabdikan hidup
untuk mencerdaskan anak-anak desa terpencil di lokasi ini mengaku bangga dengan
semngat sekolah para siswanya. Meski jarak tempuh pejalanan cukup jauh dan
menempuh medan yang sulit, para siswa di sekolah ini tetap bersemangat menuntut
pendidkan yang lebih tinggi.
“Saya bangga mereka punya semagat dan tekad belajar yang kuat. Meski
jaraknya jauh mereka pantang menyerah dan tetap semangat datang ke
skeolah,”ujar Hasniar, salah satu guru smp letta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar