Senin, 27 Januari 2014

Media dan Edukasi Pemilih

Pemilu legislatif 2014 tinggal menghitung bulan. Calon legislator dari 12 partai Politik peserta Pemilu 2014 pun telah kita ketahui, minimal dari Baliho dan poster Caleg yang kini sedang ramai menghias ruas jalan dan sudut-sudut kota dan desa. Menarik sekaligus Menantang. Menarik karena Hampir semua elemen masyarakat turut berpartisipasi mencalonkan diri. Mulai dari kalangan terdidik, pengusaha, politisi, tomas dan toga, tukang ojek sampai pembantu rumah tangga diam-diam juga ikut Nyaleg. Dan menantang karena konstituen yang tidak cerdas dan tidak kritis menetukan pilihan di bilik suara bisa terjebak pada jargon-jargon kampanye sang calon. Bukankah iklan selalu lebih indah dari warna aslinya?.

Oleh :  Edy Junaedi ***

Lalu seperti apa integritas dan kredibilitas calon legislator yang akan kita pilih mewakili suara Tuhan di parlemen?  Bagaimana track record dan moralitas para caleg? Layakkah mereka diberi amanah sebagai wakil Tuhan di Parlemen? Pertanyaan ini tentu bukan perkara mudah bagi konstituen yang miskin informasi sosok setiap caleg. Konstituen yang diperhadapkan dengan wajah baru atau wajah lama yang sebetulanya sama-sama kurang populer dan kurang mewakili akar rumput.

Informasi caleg yang terbatas yang bisa diakses konstituen membuat banyak pemilih kerap bingung menetukan pilihan secara objektif hingga pada hari H-Pemilu. Para calon yang sudah ditetapkan KPU dalam daftar calon tetap (DCT) selain bukanlah semuanya figur atau tokoh masyarakat yang populer dan dikenal baik reputasinya, kecuali calon tertentu seperti teman, tetangga atau tokoh masyarakat yang sudah lema dikenal publik.

Mesin partai politik yang tidak bekerja efektif melakukan pendidikan politik yang sehat dan bermartabat secara politik membuat banyak partai lebih tergiur memilih caleg karbitan yang direkrut tiba-tiba. Tidak semua partai politik punya kader siap pakai. Wajar jika kemudian banyak partai kasak kusuk mencari caleg demi memenuhi standar undang-undang pemilu. Keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen misalnya yang sudah menjadi tuntutan publik menjadi perkara yang tidak mudah bagi semua partai politik peserta pemilu, terutama partai-partai yang infrastruktur  politiknya belum mapan hingga ke pelosok-pelosok desa.

Dari sisi partisipasi demokrasi, euforia masyarakat berpolitik yang ditandai dengan antusiasme warga mencalonkan diri tentu menggembirakan, sebab siapa pun warga negara  yang telah memenuhi syarat minimal cukup umur, tentu berhak berpartisipasi dalam proses politik nasional, tak terkecuali mereka yang ‘buta politik’ pun bisa  nyalon.  

Namun dari sisi kepentingan atau kemaslahatan Publik yang  lebih luas, apakah animo masyarakat meramaikan pencalegan berbanding lurus dengan semangat untuk memperbaiki tatanan politik, demokrasi dan pemerintahan yang lebih sehat, demokratis dan berpradaban?. Seberapa kuat integritas dan kredibilitas caleg untuk benar-benar menjadi wakil rakyat dan mereka tidak mudah silau dengan kehidupan politik yang “gemerlap”?. Seberapa kuat moralitas calon wakil rakyat untuk meyakinkan konstituennya jika mereka bakal tidak terjebak pada pola dan kultur politisi yang ada tanpa bisa menawarkan nilai dan semangat baru dalam wacana politik nasional kita.

Pertanyaan-pertayanaan ini tentu menjadi bahan diskusi yang menarik dicermati karena dua hal. Pertama, Menarik karena pemilih atau konstituen yang sangat terbatas informasinya untuk menggali track record sederet nama caleg yang kini tengah ramai mencari peruntungan setidaknya kita tahu lewat berbagai baliho dan spanduk caleg yang ramai dipajang di berbagai tempat menjelang pemilu.

KPU dan Panwaslu selaku penyelenggara pemilu yang bertanggung jawab untuk menghasilkan kualitas demokrasi melalui pemilu yang kredibel, sangatlah sulit untuk berharap banyak bisa melakukan proses pendidikan politik kepada pemilih dalam waktu singkat. Bayangkan, pemilu tinggal dua bulan lagi sementara KPU dan Bawaslu masih berkutat soal akurasi DPT yang penuh masalah. Mulai dari soal pemilih ganda, NIK Ganda, pemilih tidak terdaftar di DPT, pemilih yang tidak punya NIK sampai pemilih yang memiliki NIK yang tidak standar.

Usai penetapan DPT, dalam waktu yang tersisa sebelum pileg digelar 9 April 2014 mendatang, KPU akan kembali disibukkan dengan soal cetak mencetak surat suara, distribusi logistik pemilu dan sosialisasi tata cara mencoblos atau mencontreng di TPS. Dalam situasi seperti ini KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara pemilu tentulah tidak banyak waktu tersisa untuk melakukan pendidikan politik yang memadai bagi pemilih yang  menjadi tanggungjawab penyelenggara pemilu secara kelembagaan.

Seperti tradisi pemilu demi pemilu yang digelar dari musim ke musim. Menjelang pemilu 2014 KPU lebih banyak sibuk mengurus soal administrasi pemilu, Mulai dari DPT, penetapan calon, distribusi surat suara sampai sosialisasi tata cara mencoblos atau mencontreng hingga pemilu digelar. Sementara pendidikan pemilih secara kwnatitatif dan kwalitatif untuk mencerdaskan konstituen secara politik sangatlah minim.

Kondisi ini diperparah dengan minimnya pengetahuan konstituen soal track record sederet nama caleg yang diusung masing-masing parpol peserta pemilu. Pengetahuan dan pemahaman soal track rekord caleg –tentu bukan bermaksud menyudutkan caleg tertentu- sangatlah penting bagi konstituen sebelum mantap menentukan pilihan atau menentukan ijitihad politiknya di bilik suara. Sebab salah memilih caleg tentulah taruhannya lima tahun ke depan.

Tanpa pendidikan politik yang serius bagi konstituen, hajatan pemilu demi pemilu yang digelar lima tahunan yang selalu menghabiskan dana trilyunan rupiah sulit mengharapkan hasil demokrasi dan pemilu yang berkwalitas. Pemilu btak lebih jadi ajang pagelaran rutinitas lima tahunan yang sulid diharapkan bisa membawa perubahan demokrasi yang lebih substantif.

Memang setiap caleg diberi kewenangan untuk melakukan sosialisasi diri melalui beragam media kampanye melalui alata peraga kampanye sampai kampanye tatap muka di panggung. Namun bahasa kampanye yang cenderung hanya memoles citra diri semata tanpa semangat menanamkan pendidikan politik yang sehat bagi pemilih, tentulah tak bisa diharap banyak bisa mencerdaskan pemilih secara politik.

Tanpa pendidikan politik pemilih yang sehat dan berkwalitas, nasib konstituen akan terus terjebak pada pilihan Politik primordialisme dan paternalisme Politik. Pemilih akan terus terjebak pada pertimbangan memilih Caleg, Capres, Cagub dan cabup karena faktor kesukuan, kelompok atau entitas sempit lainnya, bukan karena faktor integritas, kredibelitas dan kualitas keterwakilan mereka di parlemen atau di pemerintahan. Dalam kondisi seperti ini wajar jika kemudian populeritas tokoh bisa mengalahkan kualitas.

Tanpa pendidikan politik yang serius bagi pemilih ‘pencoleng-pencoleng’ Politik akan selalu muncul sebagai ‘pahlawan’ terutama menjelang pemilu. Akan selalu ada politisi karbitan yang merasa bisa mewakili kepentingan publik, pada hal mereka tak lebih dari dari sekedar mewakili kepentingan syahwat politik pribadinya.  

Masa transisi politik yang berjalan lambat membuat konstituen makin frustasi dan apatis terhadap pemilu atau pilkada yang kerap menghabiskan anggaran yang tidak sedikit. Situasi politik demokrasi seperti ini tentu akan terus menjadi ladang subur bagi pialang-pialang politik untuk memperkokoh dinasti politik dan kekuasaan mereka. Politisi-politisi salah alamat masuk legislatif sulit dibendung tanpa pendidikan politik yang sehat dan bermartabat bagi pemilih.

Profesi politisi yang seharusnya dipandang mulia dan bermartabat sebagai salah satu jalan pengabdian bagi kepenting kemaslahatan publik, pada akhirnya akan dipandang tak lebih dari sekedar ajang kompetisi untuk memperebutkan pekerjaan dan setumpuk gengsi yang menjanjikan income lumayan.

Kedua, Penting dan menarik karena salah menetukan pilihan ini artinya menyangkut pertaruhan masa depan kita sebagai konstituen atau publik minimal lima tahun ke depan.

Rekrutmen partai yang serampangan. Mesin partai politik yang tidak berfungsi efektif menyeleksi calon-calon atau kader terbaik partai dari waktu ke waktu menjadi alasan banyak konstituen cemas memilih caleg seperti memilih kucing dalam karung.  Konstituen bisa terjebak pada  suara kucing yang merdu  di panggung-panggung kampanye, tapi mereka tak mengenal baik warna bulu dan belangnya. Sistem pemilu yang dirancang hanya untuk mewakili hasrat dan kepentingan politisi untuk mempertahankan kekuasaaan poltik sulit diharap akan melahirkan pemilu yang demokratis dan berkwalitas.

Dalam 15 tahun pemilihan langsung pasca Reformasi, sudah bukan cerita baru jika banyak anggota dewan di berbagai tingkatan legislatif kabupaten, propinsi hingga pusat mereka hanya bisa jadi penggembira di rapat-rapat dewan daripada menjadi penyambung lidah rakyat yang lantang menyuarakan kepentingan konstituennya. Dalam banyak kasus korupsi, sederet anggota dewan justru ditangkap KPK karena terlibat praktek korupsi korupsi berjamaah. Pemilih tentu berharap caleg yang mereka pilih di TPS untuk mewakili aspirasi mereka di parlemen tidak mengecewakan di kemudian hari.

Berita Bergizi Bagi Pemilih

Penguasaan regulasi pemilu yang luas dan konfrehensif  bagi media dan jurnalis tentu akan membantu konstituen atau publik untuk memetakan berbagai masalah pemilu yang berpotensi mengganjal jalannya pemilu.

Pemahaman tahapan pemilu yang luas mulai dari tahapan seleksi calon legislatif, penetapan DCT, akurasi data pemilih, mendorong partispasi pemilih, sampai pemilihan dan perhitungan suara pasca pemilhan caleg dan capres menjadi tahapan proses edukasi pemilih yang bisa dimainkan media sebagai salah satu kontrol sosial dan pendidikan pembelajaran politik bagi pemilih. Penguasaan awak Media dan jurnalis akan materi pemilu yang mendalam akan membantu menyanjikan beragam berita bergizi dan lezat bagai publik pemilih dan penyelenggara pemilu tentunya.

Menyajikan berita-berita kreatif dan edukatif yang menggugah kesadaran publik pemilih akan pentingnya arti pemilu tentu sangat diharapkan pemilih. Bahwa pemilu bukanlah sekedar ritual lima tahunan yang menghabiskan dana trilyunan rupiah. Tapi pemilu adalah sebuah pesta demokrasi untuk menentukan masa depan negara dan pemerintahan yang memiliki legitimasi kuat.

Beragam berita pemilu yang membantu mencerahkan publik. Mengedukasi dan memperkaya wawasan pemilih tentang pemilu sebagai bahan masukan sebelum mereka menentukan ijtihad politiknya sendiri di bilik suara.

Salah satu contoh berita yang mungkin bergizi dan dibutuhkan konstituen adalah kemampuan media dan jurnalis memetakan beragam masalah pemilu mulai dari tahapan pencalegan hingga pasca perhtungan suara. Ulasan mendalam tentang track record setiap caleg dan Capres. Mengadvokasi pemilih yang kehilangan hak konstitusinya atau memandu pemilih melakukan tata cara memilih yang sah dan benar di bilik suara menurut ketentuan undang-undang pemilu tentu bisa mengedukasi pemilih, terutama pemilih di pedesaan yang mungkin sulit diakses KPU selaku penyelenggara pemilu.

Pendidikan politik yang sehat dan cerdas melalui peran media dan jurnalis akan membantu pemilih terhindar dari jebakan jargon-jargon kampanye menyesatkan, yang dipastikan bakal kembali ramai terutama selama masa kampanye hingga pemilihan berlangsung 9 April 2014 mendatang.   

Kemampuan jurnalis merekam momen-moment penting, termasuk potensi-potensi masalah di setiap tahapan pemilu tentu sangat lah mebantu konstituen dan penyelenggara pemilu tentunya. Ulasan media yang mendalam tentang sososk calon secara menyeluruh dari A-Z, termasuk sepak terjang calon mulai dari masa kecil hingga memutuskan diri menjadi calon tentulah sangat penting untuk memperkaya wawasan dan pertimbangan konstituen sebelum menentukan pilihan atau ijtihad politik mereka di bilik suara pada 9 April mendatang.

Partisipasi publik yang tinggi dalam pemilu secara sadar dan objektif tentu sangat penting dalam proses penetuan sirkulasi kekuasaan dan politik nasional. Partisipasi pemilih yang tinggi tentu sanagat menentukan kualitas dan kredibilitas pemilu dan penyelenggaraan pemilu yang legitimid.

Penulis :
*** Koordinator Jurnalis Pemerhati Pemilu dan Demokrasi (Jurdilmo) Sulbar (edy_gopublic@yahoo.com)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar