Pemilu
legislatif 2014 tinggal menghitung bulan. Calon legislator dari 12
partai Politik peserta Pemilu 2014 pun telah kita ketahui, minimal dari Baliho dan
poster Caleg yang kini sedang ramai menghias ruas jalan dan sudut-sudut kota
dan desa. Menarik sekaligus Menantang. Menarik karena Hampir semua elemen
masyarakat turut berpartisipasi mencalonkan diri. Mulai dari kalangan terdidik,
pengusaha, politisi, tomas dan toga, tukang ojek sampai pembantu rumah tangga
diam-diam juga ikut Nyaleg. Dan menantang karena konstituen yang tidak cerdas dan
tidak kritis menetukan pilihan di bilik suara bisa terjebak pada jargon-jargon
kampanye sang calon. Bukankah iklan selalu lebih indah dari warna aslinya?.
Oleh : Edy Junaedi ***
Oleh : Edy Junaedi ***
Lalu seperti
apa integritas dan kredibilitas calon legislator yang akan kita pilih mewakili
suara Tuhan di parlemen? Bagaimana track
record dan moralitas para caleg? Layakkah mereka diberi amanah sebagai wakil
Tuhan di Parlemen? Pertanyaan ini tentu bukan perkara mudah bagi konstituen
yang miskin informasi sosok setiap caleg. Konstituen yang diperhadapkan dengan
wajah baru atau wajah lama yang sebetulanya sama-sama kurang populer dan kurang
mewakili akar rumput.
Informasi caleg
yang terbatas yang bisa diakses konstituen membuat banyak pemilih kerap bingung
menetukan pilihan secara objektif hingga pada hari H-Pemilu. Para calon yang
sudah ditetapkan KPU dalam daftar calon tetap (DCT) selain bukanlah semuanya figur
atau tokoh masyarakat yang populer dan dikenal baik reputasinya, kecuali calon
tertentu seperti teman, tetangga atau tokoh masyarakat yang sudah lema dikenal
publik.
Mesin partai
politik yang tidak bekerja efektif melakukan pendidikan politik yang sehat dan bermartabat
secara politik membuat banyak partai lebih tergiur memilih caleg karbitan yang
direkrut tiba-tiba. Tidak semua partai politik punya kader siap pakai. Wajar
jika kemudian banyak partai kasak kusuk mencari caleg demi memenuhi standar
undang-undang pemilu. Keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen misalnya
yang sudah menjadi tuntutan publik menjadi perkara yang tidak mudah bagi semua
partai politik peserta pemilu, terutama partai-partai yang infrastruktur politiknya belum mapan hingga ke
pelosok-pelosok desa.
Dari sisi partisipasi
demokrasi, euforia masyarakat berpolitik yang ditandai dengan antusiasme warga
mencalonkan diri tentu menggembirakan, sebab siapa pun warga negara yang telah memenuhi syarat minimal cukup
umur, tentu berhak berpartisipasi dalam proses politik nasional, tak terkecuali
mereka yang ‘buta politik’ pun bisa nyalon.
Namun dari sisi
kepentingan atau kemaslahatan Publik yang
lebih luas, apakah animo masyarakat meramaikan pencalegan berbanding
lurus dengan semangat untuk memperbaiki tatanan politik, demokrasi dan pemerintahan
yang lebih sehat, demokratis dan berpradaban?. Seberapa kuat integritas dan
kredibilitas caleg untuk benar-benar menjadi wakil rakyat dan mereka tidak mudah
silau dengan kehidupan politik yang “gemerlap”?. Seberapa kuat moralitas calon
wakil rakyat untuk meyakinkan konstituennya jika mereka bakal tidak terjebak
pada pola dan kultur politisi yang ada tanpa bisa menawarkan nilai dan semangat
baru dalam wacana politik nasional kita.
Pertanyaan-pertayanaan
ini tentu menjadi bahan diskusi yang menarik dicermati karena dua hal. Pertama,
Menarik karena pemilih atau konstituen yang sangat terbatas informasinya untuk
menggali track record sederet nama caleg yang kini tengah ramai mencari
peruntungan setidaknya kita tahu lewat berbagai baliho dan spanduk caleg yang
ramai dipajang di berbagai tempat menjelang pemilu.
KPU dan
Panwaslu selaku penyelenggara pemilu yang bertanggung jawab untuk menghasilkan
kualitas demokrasi melalui pemilu yang kredibel, sangatlah sulit untuk berharap
banyak bisa melakukan proses pendidikan politik kepada pemilih dalam waktu
singkat. Bayangkan, pemilu tinggal dua bulan lagi sementara KPU dan Bawaslu
masih berkutat soal akurasi DPT yang penuh masalah. Mulai dari soal pemilih
ganda, NIK Ganda, pemilih tidak terdaftar di DPT, pemilih yang tidak punya NIK
sampai pemilih yang memiliki NIK yang tidak standar.
Usai penetapan
DPT, dalam waktu yang tersisa sebelum pileg digelar 9 April 2014 mendatang, KPU
akan kembali disibukkan dengan soal cetak mencetak surat suara, distribusi logistik
pemilu dan sosialisasi tata cara mencoblos atau mencontreng di TPS. Dalam
situasi seperti ini KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara pemilu tentulah tidak
banyak waktu tersisa untuk melakukan pendidikan politik yang memadai bagi
pemilih yang menjadi tanggungjawab
penyelenggara pemilu secara kelembagaan.
Seperti
tradisi pemilu demi pemilu yang digelar dari musim ke musim. Menjelang pemilu 2014
KPU lebih banyak sibuk mengurus soal administrasi pemilu, Mulai dari DPT,
penetapan calon, distribusi surat suara sampai sosialisasi tata cara mencoblos
atau mencontreng hingga pemilu digelar. Sementara pendidikan pemilih secara
kwnatitatif dan kwalitatif untuk mencerdaskan konstituen secara politik sangatlah
minim.
Kondisi
ini diperparah dengan minimnya pengetahuan konstituen soal track record sederet
nama caleg yang diusung masing-masing parpol peserta pemilu. Pengetahuan dan
pemahaman soal track rekord caleg –tentu bukan bermaksud menyudutkan caleg
tertentu- sangatlah penting bagi konstituen sebelum mantap menentukan pilihan
atau menentukan ijitihad politiknya di bilik suara. Sebab salah memilih caleg
tentulah taruhannya lima tahun ke depan.
Tanpa
pendidikan politik yang serius bagi konstituen, hajatan pemilu demi pemilu yang
digelar lima tahunan yang selalu menghabiskan dana trilyunan rupiah sulit
mengharapkan hasil demokrasi dan pemilu yang berkwalitas. Pemilu btak lebih
jadi ajang pagelaran rutinitas lima tahunan yang sulid diharapkan bisa membawa
perubahan demokrasi yang lebih substantif.
Memang setiap
caleg diberi kewenangan untuk melakukan sosialisasi diri melalui beragam media kampanye
melalui alata peraga kampanye sampai kampanye tatap muka di panggung. Namun
bahasa kampanye yang cenderung hanya memoles citra diri semata tanpa semangat
menanamkan pendidikan politik yang sehat bagi pemilih, tentulah tak bisa
diharap banyak bisa mencerdaskan pemilih secara politik.
Tanpa
pendidikan politik pemilih yang sehat dan berkwalitas, nasib konstituen akan
terus terjebak pada pilihan Politik primordialisme dan paternalisme Politik.
Pemilih akan terus terjebak pada pertimbangan memilih Caleg, Capres, Cagub dan
cabup karena faktor kesukuan, kelompok atau entitas sempit lainnya, bukan
karena faktor integritas, kredibelitas dan kualitas keterwakilan mereka di
parlemen atau di pemerintahan. Dalam kondisi seperti ini wajar jika kemudian populeritas
tokoh bisa mengalahkan kualitas.
Tanpa
pendidikan politik yang serius bagi pemilih ‘pencoleng-pencoleng’ Politik akan
selalu muncul sebagai ‘pahlawan’ terutama menjelang pemilu. Akan selalu ada politisi
karbitan yang merasa bisa mewakili kepentingan publik, pada hal mereka tak
lebih dari dari sekedar mewakili kepentingan syahwat politik pribadinya.
Masa transisi
politik yang berjalan lambat membuat konstituen makin frustasi dan apatis
terhadap pemilu atau pilkada yang kerap menghabiskan anggaran yang tidak
sedikit. Situasi politik demokrasi seperti ini tentu akan terus menjadi ladang
subur bagi pialang-pialang politik untuk memperkokoh dinasti politik dan
kekuasaan mereka. Politisi-politisi salah alamat masuk legislatif sulit
dibendung tanpa pendidikan politik yang sehat dan bermartabat bagi pemilih.
Profesi
politisi yang seharusnya dipandang mulia dan bermartabat sebagai salah satu
jalan pengabdian bagi kepenting kemaslahatan publik, pada akhirnya akan
dipandang tak lebih dari sekedar ajang kompetisi untuk memperebutkan pekerjaan
dan setumpuk gengsi yang menjanjikan income lumayan.
Kedua, Penting dan menarik karena salah
menetukan pilihan ini artinya menyangkut pertaruhan masa depan kita sebagai
konstituen atau publik minimal lima tahun ke depan.
Rekrutmen
partai yang serampangan. Mesin partai politik yang tidak berfungsi efektif
menyeleksi calon-calon atau kader terbaik partai dari waktu ke waktu menjadi
alasan banyak konstituen cemas memilih caleg seperti memilih kucing dalam
karung. Konstituen bisa terjebak pada suara kucing yang merdu di panggung-panggung kampanye, tapi mereka tak
mengenal baik warna bulu dan belangnya. Sistem pemilu yang dirancang hanya untuk
mewakili hasrat dan kepentingan politisi untuk mempertahankan kekuasaaan poltik
sulit diharap akan melahirkan pemilu yang demokratis dan berkwalitas.
Dalam 15 tahun
pemilihan langsung pasca Reformasi, sudah bukan cerita baru jika banyak anggota
dewan di berbagai tingkatan legislatif kabupaten, propinsi hingga pusat mereka hanya
bisa jadi penggembira di rapat-rapat dewan daripada menjadi penyambung lidah
rakyat yang lantang menyuarakan kepentingan konstituennya. Dalam banyak kasus
korupsi, sederet anggota dewan justru ditangkap KPK karena terlibat praktek
korupsi korupsi berjamaah. Pemilih tentu berharap caleg yang mereka pilih di
TPS untuk mewakili aspirasi mereka di parlemen tidak mengecewakan di kemudian
hari.
Berita Bergizi Bagi Pemilih
Penguasaan regulasi pemilu yang luas dan konfrehensif bagi media dan jurnalis tentu akan membantu konstituen
atau publik untuk memetakan berbagai masalah pemilu yang berpotensi mengganjal jalannya
pemilu.
Pemahaman tahapan pemilu yang luas mulai dari tahapan
seleksi calon legislatif, penetapan DCT, akurasi data pemilih, mendorong
partispasi pemilih, sampai pemilihan dan perhitungan suara pasca pemilhan caleg
dan capres menjadi tahapan proses edukasi pemilih yang bisa dimainkan media
sebagai salah satu kontrol sosial dan pendidikan pembelajaran politik bagi
pemilih. Penguasaan awak Media dan jurnalis akan materi pemilu yang mendalam
akan membantu menyanjikan beragam berita bergizi dan lezat bagai publik pemilih
dan penyelenggara pemilu tentunya.
Menyajikan berita-berita kreatif dan edukatif yang
menggugah kesadaran publik pemilih akan pentingnya arti pemilu tentu sangat
diharapkan pemilih. Bahwa pemilu bukanlah sekedar ritual lima tahunan yang
menghabiskan dana trilyunan rupiah. Tapi pemilu adalah sebuah pesta demokrasi
untuk menentukan masa depan negara dan pemerintahan yang memiliki legitimasi
kuat.
Beragam berita pemilu yang membantu mencerahkan
publik. Mengedukasi dan memperkaya wawasan pemilih tentang pemilu sebagai bahan
masukan sebelum mereka menentukan ijtihad politiknya sendiri di bilik suara.
Salah satu contoh berita yang mungkin bergizi dan
dibutuhkan konstituen adalah kemampuan media dan jurnalis memetakan beragam
masalah pemilu mulai dari tahapan pencalegan hingga pasca perhtungan suara.
Ulasan mendalam tentang track record setiap caleg dan Capres. Mengadvokasi
pemilih yang kehilangan hak konstitusinya atau memandu pemilih melakukan tata
cara memilih yang sah dan benar di bilik suara menurut ketentuan undang-undang
pemilu tentu bisa mengedukasi pemilih, terutama pemilih di pedesaan yang
mungkin sulit diakses KPU selaku penyelenggara pemilu.
Pendidikan politik yang sehat dan cerdas melalui peran
media dan jurnalis akan membantu pemilih terhindar dari jebakan jargon-jargon
kampanye menyesatkan, yang dipastikan bakal kembali ramai terutama selama masa
kampanye hingga pemilihan berlangsung 9 April 2014 mendatang.
Kemampuan
jurnalis merekam momen-moment penting, termasuk potensi-potensi masalah di
setiap tahapan pemilu tentu sangat lah mebantu konstituen dan penyelenggara
pemilu tentunya. Ulasan media yang mendalam tentang sososk calon secara
menyeluruh dari A-Z, termasuk sepak terjang calon mulai dari masa kecil hingga
memutuskan diri menjadi calon tentulah sangat penting untuk memperkaya wawasan
dan pertimbangan konstituen sebelum menentukan pilihan atau ijtihad politik mereka
di bilik suara pada 9 April mendatang.
Partisipasi publik yang tinggi dalam pemilu secara
sadar dan objektif tentu sangat penting dalam proses penetuan sirkulasi
kekuasaan dan politik nasional. Partisipasi pemilih yang tinggi tentu sanagat menentukan
kualitas dan kredibilitas pemilu dan penyelenggaraan pemilu yang legitimid.
Penulis :
*** Koordinator Jurnalis Pemerhati Pemilu dan Demokrasi (Jurdilmo)
Sulbar (edy_gopublic@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar