Senin, 11 Maret 2013

Berbekal Obor Bambu, Siswa ini Menembus Kegelapan Hutan Belantaran dan Pegunugan demi bersekolah

Berjalan kaki belasan kilometer dari rumah ke sekolah mereka setiap hari tak membuat para siswa terpencil di desa Batetangnga Polewali mandar Sulawesi barat ini patah semangat. Berbekal Obor Bambu, Para Siswa ini berjalan kaki melintasi jalan setapak, Menembus Kegelapan Hutan Belantaran dan Pegunugan di subuh hari, demi bersekolah dan mnegejar cita-cita mereka. Akses sarana pendidikan yang jauh dan infra struktur jalan yang belum menjangakau ke desa mereka, memaksa para anak-anak laskar pelangi ini harus berjuang demi mendapatkan pendidikan.
Berbekal sebuah obor bambu yang telah diisi minyak tanah, anak-anak terpencil di dusun Penanian, desa Batetangnga, kecamatan Binuang, POlewali mandar, Sulawesi barat ini sudah harus berangkat dan meniggalkan rumah dan orang tua mereka. Para siswa ini meninggalkan rumah subuh hari agar tidak terlambat tiba di sekolah sebelum jam pelajaran dimulai. Maklum, anak-anak Mdrazah Ibdidaiyah Binuang ini haeus menempuh perjalan kaki belasan kilometer menembus hutan belantara dan pegunuban yang terjal.

Tak hanya itu, anak-anak laskar pelangi ini juga harus melintasi sejumlah anak sungai dan jembatan gantung sepnajang 50 meter yang sangat berbahaya. Kondisi jalan yang terjal dan licin terutama saat diguyur hujan harus bisa ditaklukkan para siswa ini, agar bisa sampai ke sekolah mereka sebelum jam pelajaran dimulai. Saat hujan deras dan sungai meluap anak-anak ini kerap tak bisa sampai ke sekolah dan memilih pulang ke rumah daripada mereka menyabung nyawa.

Agar tidak takut saat menjumpai hewan liar seperti monyet dan babi hutan yang kerap melintas di sepanjang perjalanan mereka ke sekolah, anak-anak umunya saling tunggu di perjalanan dengan siswa lainnya. Sementara siswa kelas satu dan dua yang biasanya takut dan belum terbiasa bepergian ke sekolah sendirian, diantar jempur orang tua mereka.

Nanni, orang tua siswa di dusun Pananian Polewali mandar tak henti hentinya mendorong dan memotivasi anak-anaknya agar ia bisa tetap bersemangat ke sekolah meski jaraknya jauh dan harus berjalan kaki berkilometer. Banyak siswa di dusn ini memilih berhenti sekolah karena lasan jauh dan melelahkan. “Kasihan anak-anak harus berngkat pagi-pagi saat warga masih tertidur, agar mereka bisa tiba di sekolah sebelum pelajaran dimulai,”tutur Nanni.

Tiba di sekolah anak-anak ini langsung masuk kelas dan belajar seperti biasnaya. Beruntung di sekolah ini para guru tak menerapkan aturan disiplin ketat. Para siswa yang rumahnya jauh dan harus berjuang bisa sampai ke sekoloah, tetap diperkennakan para guru masuk kelas dan mengikuti pelajaran seperti siswa lainnya.

Agar para siswa terpencil ini tetap bersemnagat ke sekolah para guru dan rekan mereka kerap menghibur dan menyambut mereka bak pahlawan. Para guru maklum dan salut dengan semnagat para siswa mereka yang harus berjuang agar bisa bersekolah. Tak ada aturan ketata soal seragam di sekolah ini. Para siswa boleh memakai baju apa saja termasuk memakai sandal jepit. Bagi guru kedatangan para siswa ke sekolah adalah berkah. Maklum jarak rumah mereka yang jauh dari sekolah bukanlah perjuangan ringan untuk bisa sampai ke sekolah.

Guru madrazah ibtidaiyah Biru, Seniwati mengaku salut dengan semangat dan perjuangan para siswa mereka untuk bisa bersekolah, meski jarak rumhnya ke sekolah cukup jauh. “Bagi para guru, kedatangan siswa di sekolah yang rumahnya cukup jauh adalah berkah, kalau pun mereka terlambat, dimaklumi para guru karena rumahnya jauh dan mereka harus berjalan kaki belasan kilometer,”ujar Seniwati.

Usai jam pelajaran anak-anak ini pulang ke rumah mereka sekitar pukul 13.30 wita. Cuaca panas atau hujan yang membuat jalanann licin menjadi tantangan terberat bagi para siswa ini. Saat pulang sekolah para siswa terpencil ini justru merasakan tanntangan lebih berat. Berpeluh keringan karena cuaca panas atau basah kuyup saat hujan di perjalanan sudah biasa mereka terima.

Tanpa bekal makanan dan uang jajan, anak-anak desa yang dididik untuk terbiasa hidup irit dan melawan rasa lapar ini umumnya hanya sarapan pagi sebelum berangkat ke sekoah. Mereka baru makan siang pada pukul 16.00 wita atau lebih lambat, saat mereka tiba di rumah.

Masdar, salah seorang siswa madrazah ibtidaiyah yang rumahnya di puncak gunung di dusun Penanian kecamatan Binuang Polewali Mandar ini mengaku senang ke sekolah meski masdar dan siswa lainnya harus berjuang agar bisa smpai ke sekolah setiap hari. Alasannya sambutan para guru yang bersahabat layaknya disambut orang tua dan keluarga sendiri meski mereka datang terlambat, membuat para siswa ini bangga dan senang herada dan bermain di sekolah seperti layaknya mendatangi rumah mereka sendiri. “Saya senang karena guru-gurunya peramah dan bersahabat,”ujar masdar.saat beristirahat bersama teman-temannya.

Para orang tua siswa di desa ini berharap, pemerintah bisa segera membangun jalan desa yang layak untuk membuka keterisolasian desa mereka dari kota. Infra struktur jalan yang belum memadai mebuat sarana angkutan umum seperti ojek sulit menembus lokasi ini. Warga menilai perbakan jalan desa ke dusun mereka bisa meringankan perjuangan anak-anak mereka yang terpaksa berjlaan kaki belasan kilometer, sejak subuh hari ke sekolah karena tak ada sarana transfortasi ke sekolah. (Mandar, 11/03/2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar