Senin, 28 Januari 2013

Pasangan Lansia Hidup di Gubuk Bambu 1,5 x 2 meter


Usia senja yang tak lagi produktif seharusnya dihabiskan dengan berkumpul bersama anak-anak dan cucu-cucu tercinta di rumah. Namun di Polewali mandar, Sulawesi barat, sepasang kakek-nenek yang tak lagi mampu bekerja mencari nafkah ini terpaksa hidup di gubuk bambu berukuran 1,5 x 2 meter persegi. Dinding-dinding gubuknya dikumpulkan dari karung plastic bekas yang dibuang warga. Agar tidak roboh saat diterjang angin, gubuk tua yang ditopang dengan sejumlah batang bambu setinggi 20 centimeter dari tanah ini disandarkan pada sebatang pohon kakao. Pasangan manula yang sudah tak mampu mencari nafkah ini hanya bisa mengemis beras ke tetangga agar bisa menyambung hidup.
Gubuk berukuran tak lebih dari 1,5 x 2 meter milik Haba (85) dan Jalia (80) sepasang manula di kelurahan Ammassangang, kecamatan Binuang Polewali Mandar ini berdiri hanya beberapa meter dari kolong jembatan Binuang. Gubuk yang ditopang dengan bamboo-bambu berukuran panjang 20 centimeter dari lantai tanah ini telah berdiri di lokasi ini sejak lebih dari 20 tahun lalu. Agar tiang-tiang bamboo ini bisa berdiri kokoh gubuk beratap daun nipa ini disandarkan pada salah satu pohon kakao. Rumah Jalia sendiri berdiri di atas lahan kebun milik warga yang bersimpati memberinya tempat menumpang sementara.
Tak ada perabotan istimewa di dalamnya kecuali hanya beberapa piring, gelas plastic dan panci masak. Jangankan bisa menonton TV radioa saja tak punya. Tak ada jaringan listrik di gubuk ini, pemilik rumah hanya menggunkan lampu pelita di malam hari, namun setelah minyak tanah subsidi ditarik pemerintah praktis kakek dan nenek ini hanya berteman gulita di malam hari. Dua pekan lalu atap rumahnya terbongkar diterjang angin, Haba pun terpaksa bekerja sendiri membenahi rumahnya agar bisa ditempati bertduh.

Kakek dan nenek ini memang punya empat anak. Namun karena alasan keterdesakan ekonomi mereka pun harus mencari nafkah dengan cara merantau ke tempat yang jauh seperti Malaysia dan Kalimantan. Parktis kedua pasangan manula ini hanya tinggal berdua di gubuknya.

Karena tak bisa lagi mencari nafkah, Jalia hanya bisa meminta-minta beras ke tetangga jika beras pemberian warga di gubuknya sudah habis, sementara tak ada lagi yang bisa dimanfaatkan untuk mengganjal perut. Kedua manula ini kerap berpuasa jika persediaan beras di gubuknya sudah tak ada, sementara tetangga tak ada lagi yang  memberinya..

Jali dan Haba dulu memang pernah tercatat menjadi penerima raskin 5 liter perbulan, namun setahun terakhir namanya dicoret dari daftar penerima raskin. Jalia memang pernah mempertanyakan alasan pencabutan namanya dari daftar penerima bantuan miskin ke pemerintah setempat namun jalia tak mendapatkan jawaban rasional. Jalia sadar warga miskin sepertinya tentu tak punya daya apa-apa untuk menggugat pemerintah yang mengabaikan hak-haknya sebagai warga negera.

“Saya Cuma bisa mengemis ke tetangga jika pemberian beras warga di rumah sudah habis. Kalau betul-betul sudah tak ada saya kadang berpuasa sambil berharap akan ada pemberian beras lagi dari tetangga,”ujar Jalia lirih

Masa tua Haba dan Jalia yang seharunsya dihabiskan dengan berkumpul dan bermain bersama anak dan cucu-cucunya di rumah tak bisa dilakukan pasangan manula ini. Di masa tuanya justru keduanya masih harus pusing berpikir keras bagaimana mendapatkan segepok beras agar besok tetap bisa menyambung hidup.

Haba, suami Jalia sendiri sudah lima tahun tearkhir penglihatannya tak berfungsi normal.  Jangankan bekerja mencari nafkah Haba yang kerap sakit-sakitan ini lebih banyak menggantungkan hidup pada sang istri. .

Haba mengeluhkan bantuan raskin yang seharusnya bisa dinikmati keluarganya di masa tua seperti dirirnya namun malah namanya dihapus dari daftar penerima raskin. Kedua kakek ini hanya berharap, akan ada dermawan yang bersimpati dengan kondisi kehidupannya yang tidak menentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar