Usia senja yang tak lagi produktif seharusnya dihabiskan dengan berkumpul bersama anak-anak dan cucu-cucu tercinta di rumah. Namun di Polewali mandar, Sulawesi barat, sepasang kakek-nenek yang tak lagi mampu bekerja mencari nafkah ini terpaksa hidup di gubuk bambu berukuran 1,5 x 2 meter persegi. Dinding-dinding gubuknya dikumpulkan dari karung plastic bekas yang dibuang warga. Agar tidak roboh saat diterjang angin, gubuk tua yang ditopang dengan sejumlah batang bambu setinggi 20 centimeter dari tanah ini disandarkan pada sebatang pohon kakao. Pasangan manula yang sudah tak mampu mencari nafkah ini hanya bisa mengemis beras ke tetangga agar bisa menyambung hidup.
Gubuk berukuran tak lebih dari 1,5 x 2 meter milik Haba (85)
dan Jalia (80) sepasang manula di kelurahan Ammassangang, kecamatan Binuang
Polewali Mandar ini berdiri hanya beberapa meter dari kolong jembatan Binuang.
Gubuk yang ditopang dengan bamboo-bambu berukuran panjang 20 centimeter dari
lantai tanah ini telah berdiri di lokasi ini sejak lebih dari 20 tahun lalu. Agar
tiang-tiang bamboo ini bisa berdiri kokoh gubuk beratap daun nipa ini
disandarkan pada salah satu pohon kakao. Rumah Jalia sendiri berdiri di atas
lahan kebun milik warga yang bersimpati memberinya tempat menumpang sementara.
Tak ada perabotan istimewa di dalamnya kecuali hanya beberapa
piring, gelas plastic dan panci masak. Jangankan bisa menonton TV radioa saja
tak punya. Tak ada jaringan listrik di gubuk ini, pemilik rumah hanya
menggunkan lampu pelita di malam hari, namun setelah minyak tanah subsidi
ditarik pemerintah praktis kakek dan nenek ini hanya berteman gulita di malam
hari. Dua pekan lalu atap rumahnya terbongkar diterjang angin, Haba pun
terpaksa bekerja sendiri membenahi rumahnya agar bisa ditempati bertduh.
Kakek dan nenek ini memang punya empat anak. Namun karena alasan
keterdesakan ekonomi mereka pun harus mencari nafkah dengan cara merantau ke
tempat yang jauh seperti Malaysia dan Kalimantan. Parktis kedua pasangan manula
ini hanya tinggal berdua di gubuknya.
Karena tak bisa lagi mencari nafkah, Jalia hanya bisa meminta-minta
beras ke tetangga jika beras pemberian warga di gubuknya sudah habis, sementara
tak ada lagi yang bisa dimanfaatkan untuk mengganjal perut. Kedua manula ini kerap
berpuasa jika persediaan beras di gubuknya sudah tak ada, sementara tetangga
tak ada lagi yang memberinya..
Jali dan Haba dulu memang pernah tercatat menjadi penerima
raskin 5 liter perbulan, namun setahun terakhir namanya dicoret dari daftar
penerima raskin. Jalia memang pernah mempertanyakan alasan pencabutan namanya
dari daftar penerima bantuan miskin ke pemerintah setempat namun jalia tak
mendapatkan jawaban rasional. Jalia sadar warga miskin sepertinya tentu tak
punya daya apa-apa untuk menggugat pemerintah yang mengabaikan hak-haknya
sebagai warga negera.
“Saya Cuma bisa mengemis ke tetangga jika pemberian beras
warga di rumah sudah habis. Kalau betul-betul sudah tak ada saya kadang berpuasa
sambil berharap akan ada pemberian beras lagi dari tetangga,”ujar Jalia lirih
Masa tua Haba dan Jalia yang seharunsya dihabiskan dengan
berkumpul dan bermain bersama anak dan cucu-cucunya di rumah tak bisa dilakukan
pasangan manula ini. Di masa tuanya justru keduanya masih harus pusing berpikir
keras bagaimana mendapatkan segepok beras agar besok tetap bisa menyambung
hidup.
Haba, suami Jalia sendiri sudah lima tahun tearkhir
penglihatannya tak berfungsi normal.
Jangankan bekerja mencari nafkah Haba yang kerap sakit-sakitan ini lebih
banyak menggantungkan hidup pada sang istri. .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar