Senin, 28 Januari 2013

Festival Sayyang Pattuddu Ikon Wisata Tahunan Sulbar


Festival Sayyang Pattuddu atau kuda menari sebagai salah satu ikon wisata tahunan di Sulawesi barat kembali digelar warga Sulawesi barat di berbagai tempat selama sebulan penuh, khususnya di bulan Maulid sesuai kalender hijriyah. Festival sayyang Pattuddu yang merupakan akuluturasi atau percampuran budaya local dengan tradisi Islam yang dibawah para tokoh penyebar islam di wilayah Sulawesi barat, menjadi salah satu objek wisata andalan yang selalu menyedot perhatian tak hanya warga local tapi juga warga asing.
Ratusan kuda terlatih yang pandai menari lengkap dengan group rewana dan Pakalindagdag atau seniman mandar yang mahir bertutur dalam bahasa mandar layaknya seperti berpantun ini, unjuk kebolehan di festival sayyang pattuddu yang digelar warga di kota majene, Senin (28/1). Pestival tahunan yang selalu menjadi ikon wisata Majene ini selalu menyedot perhatian tak hanya ribuan warga local terutama di sepanjang rute jalan yang dilalui peserta festival. Tapi juga warga asing. Setiap tahun warga asing asal Jepang, Malaysia dan belanda yang tertarik dengan tradisi local mandar di Sulawesi barat ini tak pernah alpa. Meraka datang tak hanya menjadi penonton untuk menghibur diri tapi juga mereka ikut mengabadikan momentum tahunan ini.

Untuk menjadi juara di festival ini setiap group peserta diharuskan tampil secantik mungkin dan menyuguhkan irama music rawana yang kompak dan menghibur penonton di sepanjang jalan. Tak hanya itu Pakkalaindagdag atau seniman yang mahir bertutur dalam bahasa mandar layaknya seperti berpantun ini harus bisa menarik perhatian dewan juri dan para penonton.

Setiap peserta festival sayyang Pattuddu punya ketentuan dan tata cara duduk di atas kuda yang sudah berlaku secara turun temurun. Penunggang kuda yakni gadis cantik diharuskan duduk di atas punggung kuda dengan salah satu kaki ditekuk kebelakang dalam posisi lutut
menghadap kedepan. Sedang salah satu kaki lainnya terlipat dengan posisi lutut menghadap ke atas agar salah satu sikuk tangan bisa disandarkan.

Antusias warga menonton dan mengikuti festival kuda menari yang selalu dirangkaiakan dengan hajatan Maulid setiap tahun di setiap tingkat desa, kecamatan atau kabupaten, membuat ikon wisata budaya tahunan ini selalu tampak semarak dan ditunggu-tunggu warga.

Selama bulan maulid, hampir tiap hari ada saja warga yang menggelar festival kuda menari, baik di tingkat desa, kelurahan atau kecamatan. Bahkan dalam sehari terjadang ada dua atau lebih desa, kecamatan atau kabupaten yang menggelar festival serupa. Tak heran jika selama bulan maulid ruas-ruas jalan di Sulawesi barat kerat ditutup petugas sementara agar hajatan budaya ini bisa berjalan lancer dan tertib tanpa diwarnai kericuhan.

Meski warga harus menguras kocek hingga jutaan rupiah untuk menyewa kuda pattuddu atau kuda penari, biaya make up dan gaun peserta, honor group music rebana dan pakkalindagdag yang disewa, namun warga tetap banga bisa tampil menyuguhkan hiburan atau menjadi pemenag festival.

Abdul Qadir, kepala dinas pariwisata, pemuda dan olahraga kabupaten Majene, atraksi Sayyang pattudu yang telah menjadi ikon wsiata tahunan di Majene terus dilestarikan dan dikembangkan warga dan pemerintah sebagai salah satu cirri khas budaya local mandar di Majene

Tidak ada komentar:

Posting Komentar