Festival Sayyang Pattuddu atau kuda menari sebagai salah satu ikon wisata tahunan di Sulawesi barat kembali digelar warga Sulawesi barat di berbagai tempat selama sebulan penuh, khususnya di bulan Maulid sesuai kalender hijriyah. Festival sayyang Pattuddu yang merupakan akuluturasi atau percampuran budaya local dengan tradisi Islam yang dibawah para tokoh penyebar islam di wilayah Sulawesi barat, menjadi salah satu objek wisata andalan yang selalu menyedot perhatian tak hanya warga local tapi juga warga asing.
Ratusan kuda terlatih yang pandai menari lengkap dengan
group rewana dan Pakalindagdag atau seniman mandar yang mahir bertutur dalam
bahasa mandar layaknya seperti berpantun ini, unjuk kebolehan di festival
sayyang pattuddu yang digelar warga di kota majene, Senin (28/1). Pestival
tahunan yang selalu menjadi ikon wisata Majene ini selalu menyedot perhatian
tak hanya ribuan warga local terutama di sepanjang rute jalan yang dilalui
peserta festival. Tapi juga warga asing. Setiap tahun warga asing asal Jepang,
Malaysia dan belanda yang tertarik dengan tradisi local mandar di Sulawesi
barat ini tak pernah alpa. Meraka datang tak hanya menjadi penonton untuk
menghibur diri tapi juga mereka ikut mengabadikan momentum tahunan ini.
Untuk menjadi juara di festival ini setiap group peserta
diharuskan tampil secantik mungkin dan menyuguhkan irama music rawana yang
kompak dan menghibur penonton di sepanjang jalan. Tak hanya itu Pakkalaindagdag
atau seniman yang mahir bertutur dalam bahasa mandar layaknya seperti berpantun
ini harus bisa menarik perhatian dewan juri dan para penonton.
Setiap peserta festival sayyang Pattuddu punya ketentuan dan
tata cara duduk di atas kuda yang sudah berlaku secara turun temurun.
Penunggang kuda yakni gadis cantik diharuskan duduk di atas punggung kuda dengan
salah satu kaki ditekuk kebelakang dalam posisi lutut
menghadap kedepan. Sedang salah satu kaki lainnya terlipat dengan posisi lutut menghadap ke atas agar salah satu sikuk tangan bisa disandarkan.
menghadap kedepan. Sedang salah satu kaki lainnya terlipat dengan posisi lutut menghadap ke atas agar salah satu sikuk tangan bisa disandarkan.
Antusias warga menonton dan mengikuti festival kuda menari
yang selalu dirangkaiakan dengan hajatan Maulid setiap tahun di setiap tingkat
desa, kecamatan atau kabupaten, membuat ikon wisata budaya tahunan ini selalu
tampak semarak dan ditunggu-tunggu warga.
Selama bulan maulid, hampir tiap hari ada saja warga yang
menggelar festival kuda menari, baik di tingkat desa, kelurahan atau kecamatan.
Bahkan dalam sehari terjadang ada dua atau lebih desa, kecamatan atau kabupaten
yang menggelar festival serupa. Tak heran jika selama bulan maulid ruas-ruas
jalan di Sulawesi barat kerat ditutup petugas sementara agar hajatan budaya ini
bisa berjalan lancer dan tertib tanpa diwarnai kericuhan.
Meski warga harus menguras kocek hingga jutaan rupiah untuk
menyewa kuda pattuddu atau kuda penari, biaya make up dan gaun peserta, honor
group music rebana dan pakkalindagdag yang disewa, namun warga tetap banga bisa
tampil menyuguhkan hiburan atau menjadi pemenag festival.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar