Senin, 10 Desember 2012

Demi Sekolah Anak Pedalaman Terpencil Jalan Kaki Berkilo-kilo Meter


Kesenjangan pendidikan antara siswa di perkotaan dengan anak-anak pedalaman terpencil hingga kini masih jauh tertinggal. Ratusan anak-anak pedalaman terpencil di Polewali Mandar, Sulaweis barat mislanya, masih harus berjuang menembus hutan belantara dengan bejalan kaki melintasi pegunungan berkilo-kilometer dari rumah mereka agar bisa sampai ke sekolah. Akses sarana pendidikan yang minim dan transfortasi yang tidak menjangkau hingga ke desa mereka, memaksa para laskar pelangi ini harus berjuang ekstra, agar bisa bersekolah di kota seperti anak-anak lainnya.

Rahmawati (13), siswa asal pedalaman terpencil dari dusun Lembang, desa Mirring kecamatan Binuang Polewali mandar ini harus berjalan kaki beberapa kilometer menembus hutan belantara dan perbukitan dari rumah ke sekolahnya di MTS Tappina kecamatan Binuang, Polewali Mandar.  Didusun kelahiran Rahmawati hanya ada beberapa siswa yang melanjutkan pendiidkan ke kota. Lainnya tidak bersekolah karena alasna sekolah jauh. Putri pasangan Rahman dan Hara ini rerkadang harus berjalan kaki sendirian menembus hutan belantara jika dua teman sedusunnya tak bersekolah karena alasan sakit atau izin.

Agar tidak terlambat sebelum pelajaran dimulai pukulo 7.30 wita setiap harinya. Rahmawati harus meninggalkan rumahnya pukul 5.30 wita. Rahmawati harus berjalan kaki selama sekitar satu jam dalam kondisi yang masih gulita sebelum sampai ke jalan poros yang dilalui kendaraan angkutan umum. Maklum jalan setapak menuju desanya hingga kini belum dijamah angkutan umum. Selain karena jaraknya yang jauh dari kota kecamatan, kondisi jalan yang becek dan belum diaspal membuat dusun ini belum dijangkau angkutan umum. “Sering pakaian basah kuyup karena kehujanan di perjalan sebelum sampai ke sekolah,”ujar Rahmawati mengaku harus bagun subu tiap hari agar tidak terlambat ke sekolah.

Beruntung MTS Tappina, tempat Rahmawati bersekolah bersama 180-an sisswa lainnya telah menyediakan angkutan antar jemput  untuk membantu siswanya, terutama bagi mereka yang tinggal jauh di pedalaman terpencil. Sayangnya infra struktur jalan desa dan dusun yang belum mendukung untuk dilalui kendaraan membuat angkutan antar jemput yang disewa pihak sekolah ini hanya bisa menjangkau jalan-jalan poros yang beraspal. Para siswa masih harus berjalan kaki berkilo-kilometer dari dusunnya ke jalur kendaraan terdekat untuk menunggu jemputan sebelum sampai di sekolah.

Rahmawati masih mendingan, sejumlah rekannya bahkan tinggal di pedalaman yang jauh lebih terpencil dan memerlukan waktu berjalan kaki selama berjam-jam dari rumah hingga ke sekolahnya. Agar bisa bersekolah di kota dan tidak terlabat setiap hari, sejumlah siswa terpaksa memilih menumpang di rumah-rumah penduduk di sekitar sekolahnya. 

Hara, Orang tua Rahmawati mengaku prihatin dengan kondisi perjalan anaknya ke sekolah. Saat hujan deras dan kondisi jalan banjir dan tak bisa dilalui, Rahmawati anaknya kerap tak bersekolah.  “Kasihan pak anak-anak disini harus berjalan kaki cukup jauh ke sekolah karena tak ada sarana transfortasi. Mereka tinggalkan rumah subuh hari agar bisa tiba di sekolah sebelum pelajaran dimulai. Saat Musim hujan mereka terpaksa tinggal di rumah karena takut basah dan jalan banjir,”ujar Hara mengaku terus mensuffort anaknya agar tetap semangat ke sekolah.

Kepala MTS Tappina, Lukman yang berempati dengan kesulitan yang dialami siswanya terutama anak-anak pedalaman yang rumahnya jauh dari sekolah, terpaksa menyewakan angkutan antar jemput secara gratis. Sayangnya, infrastruktur jalan desa dan dusun yang tidak mendukung membuat kendaraan jemputan siswa ini hanya bisa melintasi jalur-jalur poros yang sudah diaspal.

 “Salah satu upaya kita mengatasi kesuitan para siswa terutamna yang tinggal di pedalam yang jauh dari sekolah telah disedakan angkutan antar jemput secara gratis. Hanya saja karena kondisi jalan desa dan dusun yang belum dijangkau kendaraan membuat siswa tetap harus berjalan kaki berkilo-kilo ke jalur poros sebelum melanjutkan perjalan ke sekolah,”ujar Lukman.

Beruntung MTS Tappina tidak memberlakukan aturan ketat bagi siswanya yang datang terlambat terutama mereka yang tinggal di pedalaman. Siswa yang datang terlambat dan basah kuyup menempuh perjalana jauh tetap dipersilahkan menbgikuti pelajaran seperti biasa.

Di sekolah MTS Tappina sendiri menampung lebih dari 180 siswa yang matoritas anak-anak terpencil. Sebanyak 18 guru diantaranya hanya 3 orang PNS selebihnya adalah guru honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun. Kepala sekolah MTS Tappina sendiri, Lukman hingga kini masih guru honorer meski sudha mengabdi belasan tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar