Ada banyak pekerjaan yang harus dirampungkan untuk menjadikan Polewali sebagai kabupaten layak anak. Lingkungan dan penataan kota
yang mempertimbangkan hak-hak anak. Sarana pendidikan yang didesaian untuk mengakomodasi kepentingan anak. Ruang penyidikan, tahanan dan ruang sidang bagi anak yang berkonplik hukum perlu didesaian khusus agar anak tidak memposisikan diri sebagai terhakimi. Sarana publik yang menjadi arena untuk berinteraksi warga dan anak-anak pun kerap
dirampas untuk sebuah kepentingan lain. Ini harus menjadi bagian integral yang harus dibenhai pemerintah jika kita serius menjadikan Polewali kota layak anak.
Untuk mendorong
kabupaten Polewali Mandar menjadi kota layak anak (KLA) di Sulawesi barat, selain harus mengintegrasikan sistem pembangunan satu wilayah
administrasi dengan komitmen sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha
yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk memenuhi hak-hak anak,
juga diperlukan berbagai persiapan sarana dan infrastuktur pendukung.
Ada sejumlah
pra syarat penting menurut penulis yang harus dipenuhi untuk menjadikan kota
Polewali Mandar sebagai salah satu kota layak anak di Sulawesi barat dan
Indonesia. Pertama, Ketersedian
Sarana pendidikan yang memadai terutama di pedesaan terpencil untuk menunjang perfektif
sekolah ramah anak. Sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dan bisa
diakses kapan dan siapa saja dengan mudah.
Di pedesaan
terutama di dusun terpencil, ketersedaan sarana pendidikan masih menjadi
kendala nyata anak-anak pedesaan untuk. Pembangunan Kota-Desa yang timpang
membuat anak-anak pedesaan terpaksa harus berjuang dengan cara berjalan kaki
melintasi pegunungan dan hutan belantara selama berjam-jam ke sekolah setiap
hari.
Karena
alasan sarana pendidikan jauh, banyak warga memilih tidak menyekolahkan
anak-anak mereka. Mayoritas anak-anak pedesaan dipaksa menjadi tulang punggung
ekonomi keluarga sebelum waktunya. Mereka dipaska bekerja dan memanggul
tanggungjawab orang dewasa sebelum waktunya. Rendahnya kesadaran warga desa
akan pentingnya pendidikan dan masa depan anak-anak mereka, membuat banyak
orang tua kerap mengabaikan hak-hak pendidikan dasar anak-anak mereka.
Pembangun
gedung-gedung sekolah yang tidak mempertimbangkan perlindungan dan kepentingan
anak menjadi kendala lain yang harus dibenahi. Karena alasan lahan yang
terbatas pembangunan gedung sekolah, yang konon berperan ikut membentuk
karakter anak-anak bangsa kerap diabaikan.
Hampir semua
lapangan dan lahan sekolah dimanfaatkan untuk bangunan gedung tanpa menyediakan
sarana dan lokasi bermain yang memadai untuk anak-anak. Anak yang identik
dengan dunia bermain menjadi kehilangan hak. Anak yang seharusnya bisa betah
tinggal berlama-lama di sekolah yang menyediakan aneka sarana menjadi tidak
betah. Pada hal sekolah yang didesaian dalam persfektif kepentingan anak
seharusnya tidak hanya sebagai sarana pendidkkan tapi juga sarana bermain untuk
memnacing minat dan daya tarik anak untuk terus datang ke sekolah tanpa harus
diarahkan orang tuanya.
Kedua, Suasana lingkungan dan penataan kota
yang mempertimbangkan hak-hak atas anak. Pembangunan lingkungan tempat tinggal
dan kota yang berwawasan kafitalis nyaris tak mempertimbangkan kepentingan dan hak-hak
dasar anak. Sarana public yang menjadi arena untuk berinteraksi warga pun kerap
dirampas untuk sebuah kepentingan lain.
Di kota-kota
besar lapangan sepak bola misalnya yang selama ini menjadi sarana warga
berinteraksi dengan penduduk lainnya makin sulit ditemukan. Lapangan yang
memiliki peran penting membangun keutuhan social masyarakat sekitarnya dirampas
untuk kepentingan dan target yang mengedepankan kepentingan ekonomi yang lebih
besar.
Lapangan
Karebosi Makassar mislanya yang dulu ramah bagi siapa saja, kini “dirampas”
untuk melayani kepentingan pemilik modal dan mengabaikan kepentingan social
yang lebih luas. Dengan alasan mengejar target PAD, pajak atau sumber
pendapatan lainnya, kepentingan sosial masyarakat sekitarnya dikorbankan. Gedung-gedung
kantor perhotelan dan pusat-pusat perbelanjaan yang dibangun jauh dari
pertimbangan untuk mengakomodasi hak dan kepentingan anak.Wajar jika
kemudian anak-anak makin kehilangan kesempatan dan ruang public untuk bermain
yang sehat. Secara tidak sadar atau mengabaikannya, Dunia dan masa depan anak
dirampas oleh Negara.
Ketiga, Sarana kesehatan seperti rumah
sakit, puskesmas dan pustu yang dibangun harus mendukung
semangat pelayanan
kesehatan yang ramah anak. Di Polewali Mandar dan Sulawesi barat saya kira,
belum ada rumah sakit khusus untuk anak. Rumah sakit Umum Daerah Polewali
Mandar memang menyediakan ruang atau bangsal anak. Namun karena alasan
keterbatasan ruangan dan tempat, pasien dewasa kerap dicampur aduk dengan
pasien anak-anak.
Puskesmas
atau pustu yang paling mudah dan paling sering dijamah warga terutama warga
desa dan anak-anak, seharusnya konsep pelayanan dan lingkungan sekitarnya
didesain untuk mengakomodasi pertimbagnan kepentingan dan hak-hak anak yang
lebih luas. Arena bermain dan suasana pelayanan para petugas kesehatan menjadi
bagian penting yang tak boleh diabaikan.
Keempat, Desain tempat dan ruang penyidikan
yang jauh dari kesan sangar. Ruang tahanan dan penyidikan bagi anak-anak yang
berhadapan dengan hukum harus didesain jauh dari kesan penghakiman bagi anak
yang sedang berkonplik dengan hokum. Mencampur adukkan dengan tahanan dewasa
adalah sebuah tindakan pelanggaran ham dan pelanggaran hak-hak atas anak.
Menggabungkan
Residivis dan perampok kelas kakap dengan anak-anak yang berkonplik dengan
hukum adalah sebuah bentuk kekerasan baru yang diperhadapkan kepada anak-anak
yang sedang bermasalah. Anak yang tumbuh
di lingkungan yang sehat dan bersih harus terkontaminasi dengan kehidupan orang
dewasa yang sudah terlanjur di cap sebagai penjahat.
Anak sebagai
asset masa depan yang kebetulan berkomplik dengan hukum, tidak boleh tumbuh
kesan mereka dihakimi warga dan lingkungan sekitarnya. Sebab jika kesan ini
yang tumbuh, secara psikologis menjadi beban tambahan yang tidak ringan bagi
anak kelak ketika sang anak dibebaskan. Apalagi jika kemudian nantinya terbukti
tidak bersalah. Penjara atau tahanan yang tidak sehat dan tidak berwawasan
ramah anak, menjadi tempat awal pembentukan karakter penjahat baru.
Kelima, Model pemeriksaan anak yang
berkonplik hokum harus dikemas berbeda dengan cara penyidik penjahat atau
koruptor. Menguras informasi dan kronologis kasus hokum yang menima sang anak tak
harus dikemas seperti penyidik memeriksa penjahat dan Koruptor dengan
pengawalan ketat petugas.
Dalam
suasana mengajak anak bermain, penyidik bisa menguras informasi yang lengkap
tanpa menumbuhkan kesan anak sedang didudukkan sebagai tersangka atau terdakwa.
Untuk itu diperlukan penyidik yang harus dilatih khusus menangani anak yang
bermasalah dengan hokum. Penyidik tak harus dibebani target waktu dan
penyelesaian kasus secara kwantitas yang mengabaikan kwalitas dan pendalaman
pemeriksaan kasus dalam perfektif kepentingan dan masa depan anak.
Mengadili
anak yang berkonplik dengan hukum layaknya pengadilan konvensional. Sang hakim
berjubah hitam dengan pakaian kebesarannya dan sang anak didudukkan di kursi
pesakitan sebegai tertuduh, hanya akan membuat sang anak bersalah, meski tidak
terbukti melanggar hukum.
Mengemas
model pengadilan anak layaknya tradisi “Tudang sipulung” ala petani pasca panen atau
menjelang turun ke sawah, mungkin patut dipertimbangkan. Cara ini memang
memerlukan waktu dan kesabaran majelis hakim agar bisa memutuskan konplik anak yang
terpaksa harus berhadapan hokum, dengan hukuman cara yang adil dalam persfektif
anak.
Trend Kekerasan Anak
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) 2006 secara nasional, selama tahun 2006 telah
terjadi sekitar 2,81 juta kekerasan terhadap anak dan sekitar 2,29 juta anak
pernah menjadi korbannya. Dari sejumlah kejadian, penganiayaan merupakan jenis
kekerasan yang terbayak dialami oleh anak yaitu 53,7%, selanjutnya Penghinaan
36,7%, Penelantaran 10,3%, Pelecehan 3,9% dan lainnya 15,2%
Anak korban
kekerasan menurut jenis kekerasan yang dialaminya tercatat Penganiayaan 53 persen, Penghinaan 38 persen,
Pelecehan Seksual 5 persen, Penelantaraan 11 persen dan Lainnya 16 persen. Data
kekerasan anak di sekolah menurut Komnas Perlindungan anak, terdapat 382 kasus
menimpa anak pada tahun 2009. Kekerasan Fisik meliputi 98 kasus, Seksual 108
kasus dan Psikis 176 kasus. Hasil sensus BPS tahun 2006 misalnya, pelaku
kekerasan terhadap anak memang masih didominasi orang tua hingga 61 persen,
disusul tetangga 8 persen dan guru 2,8 persen.
Trend
Kekerasan konvensional seperti orang tua atau guru menganiaya siswanya, kedepan
menurut penulis kecenderugannya akan semakin menurun, menyusul makin
meningkatnya pengetahuan dan pemahaman para orang tua dan guru akan pentingnya
pertumbuhan anak di lingkungan yang sehat dan bebas dari intimidasi dan
kekerasan. Sosialisasi undang-undang perlindungan nak dan perangkat pendukungnya
penting untuk terus disosialisasikan di semua kalangan.
Namun
keterbatasan Negara menyediakan sarana dan prasarana pendukung seperti sarana
pendidikan anak yang memadai, sarana kesehatann yang layak dan mudah diakses,
ruang tahanan dan penyidikan, serta ruangan pengadilan khusus untuk anak,
hingga kini belum banyak tersedia di berbagai daerah kabupaten. Di Sulawesi
barat sendiri hanya Polewali tercatat memiliki tahanan khusus untuk anak.
Dalam
situasi seperti ini, Negara telah melakukan tirani terhadap warga dan anak-anak
negeri yang menjadi harapan masa depan bangsa. Tanpa menyediakan sarana
pendukung yang memungkinkan anak-anak tumbuh di lingkungan yang sehat dan bebas
dari kekerasan adalah sebuah tirani yang dilakukan oleh Negara terhadap warganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar