Selasa, 06 Desember 2011

Polewali mandar Menuju Kota layak Anak


Ada banyak pekerjaan yang harus dirampungkan untuk menjadikan Polewali sebagai kabupaten layak anak. Lingkungan dan penataan kota yang mempertimbangkan hak-hak anak. Sarana pendidikan yang didesaian untuk mengakomodasi kepentingan anak. Ruang penyidikan, tahanan dan ruang sidang bagi anak yang berkonplik hukum perlu didesaian khusus agar anak tidak memposisikan diri sebagai terhakimi. Sarana publik yang menjadi arena untuk berinteraksi warga dan anak-anak pun kerap dirampas untuk sebuah kepentingan lain. Ini harus menjadi bagian integral yang harus dibenhai pemerintah jika kita serius menjadikan Polewali kota layak anak.
 

Untuk mendorong kabupaten Polewali Mandar menjadi kota layak anak (KLA) di Sulawesi barat, selain harus mengintegrasikan sistem pembangunan satu wilayah administrasi dengan komitmen sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk memenuhi hak-hak anak, juga diperlukan berbagai persiapan sarana dan infrastuktur pendukung.

Ada sejumlah pra syarat penting menurut penulis yang harus dipenuhi untuk menjadikan kota Polewali Mandar sebagai salah satu kota layak anak di Sulawesi barat dan Indonesia. Pertama, Ketersedian Sarana pendidikan yang memadai terutama di pedesaan terpencil untuk menunjang perfektif sekolah ramah anak. Sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dan bisa diakses kapan dan siapa saja dengan mudah.
Di pedesaan terutama di dusun terpencil, ketersedaan sarana pendidikan masih menjadi kendala nyata anak-anak pedesaan untuk. Pembangunan Kota-Desa yang timpang membuat anak-anak pedesaan terpaksa harus berjuang dengan cara berjalan kaki melintasi pegunungan dan hutan belantara selama berjam-jam ke sekolah setiap hari. 

Karena alasan sarana pendidikan jauh, banyak warga memilih tidak menyekolahkan anak-anak mereka. Mayoritas anak-anak pedesaan dipaksa menjadi tulang punggung ekonomi keluarga sebelum waktunya. Mereka dipaska bekerja dan memanggul tanggungjawab orang dewasa sebelum waktunya. Rendahnya kesadaran warga desa akan pentingnya pendidikan dan masa depan anak-anak mereka, membuat banyak orang tua kerap mengabaikan hak-hak pendidikan dasar anak-anak mereka. 

Pembangun gedung-gedung sekolah yang tidak mempertimbangkan perlindungan dan kepentingan anak menjadi kendala lain yang harus dibenahi. Karena alasan lahan yang terbatas pembangunan gedung sekolah, yang konon berperan ikut membentuk karakter anak-anak bangsa kerap diabaikan.
Hampir semua lapangan dan lahan sekolah dimanfaatkan untuk bangunan gedung tanpa menyediakan sarana dan lokasi bermain yang memadai untuk anak-anak. Anak yang identik dengan dunia bermain menjadi kehilangan hak. Anak yang seharusnya bisa betah tinggal berlama-lama di sekolah yang menyediakan aneka sarana menjadi tidak betah. Pada hal sekolah yang didesaian dalam persfektif kepentingan anak seharusnya tidak hanya sebagai sarana pendidkkan tapi juga sarana bermain untuk memnacing minat dan daya tarik anak untuk terus datang ke sekolah tanpa harus diarahkan orang tuanya. 

Kedua, Suasana lingkungan dan penataan kota yang mempertimbangkan hak-hak atas anak. Pembangunan lingkungan tempat tinggal dan kota yang berwawasan kafitalis nyaris tak mempertimbangkan kepentingan dan hak-hak dasar anak. Sarana public yang menjadi arena untuk berinteraksi warga pun kerap dirampas untuk sebuah kepentingan lain. 

Di kota-kota besar lapangan sepak bola misalnya yang selama ini menjadi sarana warga berinteraksi dengan penduduk lainnya makin sulit ditemukan. Lapangan yang memiliki peran penting membangun keutuhan social masyarakat sekitarnya dirampas untuk kepentingan dan target yang mengedepankan kepentingan ekonomi yang lebih besar. 

Lapangan Karebosi Makassar mislanya yang dulu ramah bagi siapa saja, kini “dirampas” untuk melayani kepentingan pemilik modal dan mengabaikan kepentingan social yang lebih luas. Dengan alasan mengejar target PAD, pajak atau sumber pendapatan lainnya, kepentingan sosial masyarakat sekitarnya dikorbankan. Gedung-gedung kantor perhotelan dan pusat-pusat perbelanjaan yang dibangun jauh dari pertimbangan untuk mengakomodasi hak dan kepentingan anak.Wajar jika kemudian anak-anak makin kehilangan kesempatan dan ruang public untuk bermain yang sehat. Secara tidak sadar atau mengabaikannya, Dunia dan masa depan anak dirampas oleh Negara. 

Ketiga, Sarana kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas dan pustu yang dibangun harus mendukung 
semangat pelayanan kesehatan yang ramah anak. Di Polewali Mandar dan Sulawesi barat saya kira, belum ada rumah sakit khusus untuk anak. Rumah sakit Umum Daerah Polewali Mandar memang menyediakan ruang atau bangsal anak. Namun karena alasan keterbatasan ruangan dan tempat, pasien dewasa kerap dicampur aduk dengan pasien anak-anak.

Puskesmas atau pustu yang paling mudah dan paling sering dijamah warga terutama warga desa dan anak-anak, seharusnya konsep pelayanan dan lingkungan sekitarnya didesain untuk mengakomodasi pertimbagnan kepentingan dan hak-hak anak yang lebih luas. Arena bermain dan suasana pelayanan para petugas kesehatan menjadi bagian penting yang tak boleh diabaikan.

Keempat, Desain tempat dan ruang penyidikan yang jauh dari kesan sangar. Ruang tahanan dan penyidikan bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum harus didesain jauh dari kesan penghakiman bagi anak yang sedang berkonplik dengan hokum. Mencampur adukkan dengan tahanan dewasa adalah sebuah tindakan pelanggaran ham dan pelanggaran hak-hak atas anak. 

Menggabungkan Residivis dan perampok kelas kakap dengan anak-anak yang berkonplik dengan hukum adalah sebuah bentuk kekerasan baru yang diperhadapkan kepada anak-anak yang sedang bermasalah.  Anak yang tumbuh di lingkungan yang sehat dan bersih harus terkontaminasi dengan kehidupan orang dewasa yang sudah terlanjur di cap sebagai penjahat.

Anak sebagai asset masa depan yang kebetulan berkomplik dengan hukum, tidak boleh tumbuh kesan mereka dihakimi warga dan lingkungan sekitarnya. Sebab jika kesan ini yang tumbuh, secara psikologis menjadi beban tambahan yang tidak ringan bagi anak kelak ketika sang anak dibebaskan. Apalagi jika kemudian nantinya terbukti tidak bersalah. Penjara atau tahanan yang tidak sehat dan tidak berwawasan ramah anak, menjadi tempat awal pembentukan karakter penjahat baru.    
Kelima, Model pemeriksaan anak yang berkonplik hokum harus dikemas berbeda dengan cara penyidik penjahat atau koruptor. Menguras informasi dan kronologis kasus hokum yang menima sang anak tak harus dikemas seperti penyidik memeriksa penjahat dan Koruptor dengan pengawalan ketat petugas.
Dalam suasana mengajak anak bermain, penyidik bisa menguras informasi yang lengkap tanpa menumbuhkan kesan anak sedang didudukkan sebagai tersangka atau terdakwa. Untuk itu diperlukan penyidik yang harus dilatih khusus menangani anak yang bermasalah dengan hokum. Penyidik tak harus dibebani target waktu dan penyelesaian kasus secara kwantitas yang mengabaikan kwalitas dan pendalaman pemeriksaan kasus dalam perfektif kepentingan dan masa depan anak.

Mengadili anak yang berkonplik dengan hukum layaknya pengadilan konvensional. Sang hakim berjubah hitam dengan pakaian kebesarannya dan sang anak didudukkan di kursi pesakitan sebegai tertuduh, hanya akan membuat sang anak bersalah, meski tidak terbukti melanggar hukum.

Mengemas model pengadilan anak layaknya tradisi  “Tudang sipulung” ala petani pasca panen atau menjelang turun ke sawah, mungkin patut dipertimbangkan. Cara ini memang memerlukan waktu dan kesabaran majelis hakim agar bisa memutuskan konplik anak yang terpaksa harus berhadapan hokum, dengan hukuman cara yang adil dalam persfektif anak.

Trend Kekerasan Anak

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2006 secara nasional, selama tahun 2006 telah terjadi sekitar 2,81 juta kekerasan terhadap anak dan sekitar 2,29 juta anak pernah menjadi korbannya. Dari sejumlah kejadian, penganiayaan merupakan jenis kekerasan yang terbayak dialami oleh anak yaitu 53,7%, selanjutnya Penghinaan 36,7%, Penelantaran 10,3%, Pelecehan 3,9% dan lainnya 15,2% 
Anak korban kekerasan menurut jenis kekerasan yang dialaminya tercatat  Penganiayaan 53 persen, Penghinaan 38 persen, Pelecehan Seksual 5 persen, Penelantaraan 11 persen dan Lainnya 16 persen. Data kekerasan anak di sekolah menurut Komnas Perlindungan anak, terdapat 382 kasus menimpa anak pada tahun 2009. Kekerasan Fisik meliputi 98 kasus, Seksual 108 kasus dan Psikis 176 kasus. Hasil sensus BPS tahun 2006 misalnya, pelaku kekerasan terhadap anak memang masih didominasi orang tua hingga 61 persen, disusul tetangga 8 persen dan guru 2,8 persen.

Trend Kekerasan konvensional seperti orang tua atau guru menganiaya siswanya, kedepan menurut penulis kecenderugannya akan semakin menurun, menyusul makin meningkatnya pengetahuan dan pemahaman para orang tua dan guru akan pentingnya pertumbuhan anak di lingkungan yang sehat dan bebas dari intimidasi dan kekerasan. Sosialisasi undang-undang perlindungan nak dan perangkat pendukungnya penting untuk terus disosialisasikan di semua kalangan.

Namun keterbatasan Negara menyediakan sarana dan prasarana pendukung seperti sarana pendidikan anak yang memadai, sarana kesehatann yang layak dan mudah diakses, ruang tahanan dan penyidikan, serta ruangan pengadilan khusus untuk anak, hingga kini belum banyak tersedia di berbagai daerah kabupaten. Di Sulawesi barat sendiri hanya Polewali tercatat memiliki tahanan khusus untuk anak.
Dalam situasi seperti ini, Negara telah melakukan tirani terhadap warga dan anak-anak negeri yang menjadi harapan masa depan bangsa. Tanpa menyediakan sarana pendukung yang memungkinkan anak-anak tumbuh di lingkungan yang sehat dan bebas dari kekerasan adalah sebuah tirani yang dilakukan oleh Negara terhadap warganya.

Karenanya Apa pun alasannya semua pihak orang tua, masyarakat, dan aktifis anak harus terus menerus mendesak Negara untuk memenuhi hak-hak dan kepentingan dalam perfektif anak.(**** Posted : Edy Junaedi)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar