Rabia, nenek berumur 115 tahun asal dusun Kulinjang desa
Kariango kecamatan Lembang, Pinrang sulawesi selatan terpaksa menderek tubuhnya
yang lumpuh demi memenuhi hajat hidupnya seperti makan mandi atau memasak. Di
saat membutuhkan seorang tulang punggung di tengah keluarga di usianya yang
sudah lanjut, suami dan tiga anak yang dicintainya justru lebih dahulu
menghadap ilahi. Praktis rabiah di masa tuanya tak bisa berharap banyak kepada
siapa pun kecuali belas kasihan kepada sanak tetangga yang bersimpati
dengannya.
Bukankankah negara berkewajiban untuk memelihara fakir
miskin, anak-anak yatim, lansia dan
anak-anak terlantar? Sayangnya negara yang sudah hampir seabad merdeka ini para
pemimpinnya lagi-lagi alpa dan tak becus mengurus warganya sendiri.
Beginilah hidup keseharian rabia sejak 15 tahun terakhir. Nenek yang
diperkirakan sudah berumur 115 tahun lebih ini sehari-hari terpaksa menderek
tubuhnya naik turun tangga rumahnya, demi memenuhi hajat hidupnya seperti makan,
mandi atau memasak.
Badan dan kedua kakinya yang lumpuh sejak belasan tahun lalu membuat nenek
sebatangkara ini harus berjuang sendiri menghadapi sisa-sisa hidupnya. Rabiah
tak bisa berharap bantuan dari siapa pun kecuali kepada kemurahan hati sanak
tetangganya. Suami dan tiga anak yang menjadi tumpuan harapan hidup di masa
tuanya, justru lebih dahulu dipanggil sang pencipta.
Praktis perempuan tangguh yang sempat ikut bejuang membantu para pejuang
mengusir penjajah di zaman belanda dan serdadu nippon jepang ini hanya bisa
mengurus dirinya sendiri meski badan dan kedua kakinya lumpuh.
Wwc : Rabia, nenek lansia (..............umur saya sudah ratusan tahun.
Saya hidup masih di zaman nippon jepang. Saya sudah berkali-kali pindah kampung
sebelum tinggal disini. Sejak lumpuh saya sudah puluhan tahun hudup dari
pemberian tetangga.................)
Agar bisa naik turun tangga dari rumahnya untuk sekedar mandi atau
mengambil kebutuhan air untuk masak atau mencuci, Rabiah harus menopang badan
dan kedua kakinya yang lumpuh menggunakan kedua tangannya dengan cara mendorong
ke belakang secara perlahan-lahan hingga bisa naik atau turun dari rumahnya. Sementara
ember berisi air diangkat Rabia dengan cara digeser perlahan-lahan hingga ember
berisi air bisa naik ke atas rumahnya.
Sejak menderita lumpuh rabiah tak bisa lagi bekerja meski hanya sekedar
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, praktis rabiah hanya berharap belas kasihan
dari sanak tetangga yang bersimpati dengannya. Kerap jika persediaan beras
pemberian tetangganya habis, Rabiah hanya mengganjal perutnya dengan air minum
sambil berharap keajaiaban tuhan hingga ada lagi warga yang tergerak hatinya
untuk membantu kebutuhan dasarnya.
Meski hidup melarat seorang diri di masa tuanya. Wanita pekerja keras di
masa jayanya ini tak pernah meminta-minta atau berkeluh kesah kepada siapaun
mengennai kondisi hidupnya.
Satu-satunyan permintaan rutin rabia setiap kali ada warga yang datang ke
rumahnya adalah obat-obatan. Rabia berharap badan dan kedua kakinya yang lumpuh
akibat terjatuh bisa sembuh kembali agar kelak bisa mengurus dirinya sendiri dan
tak menyusahkan orang lain.
Rabiah tinggal di rumah peningalan suaminya yang sudah lapuk. Salah satu
sudut rumah ini bahkan sudah hancur dan tak layak ditempati lagi. Tiang dan
dinding-dindingnya yang lapuk dimakan rayap mulai jatuh satu persatu.
Tak ada perabotan mewah di rumah ini. Hanya ada beberapa lembar kain lusuh
dan robek yang berserakan dilantai bambu dan bercampur papan. Jangankan punya
kulkas atau tv, radio saja tak punya.
Fitri tetangga Rabia mengatakan, badan dan kaki rabia sudah lama lumpuh.
Karena sudah tak mampu bekerja menghidupi dirinya/ sanak tetanggalah yang
bergantian membantu kebutuhan hidupnya.
“Kasihan hidupnya tak menentu. Hanya tetanga yang menaruh belas kasihan
terhadapnya.”ujar Fitri, warga juga tteangga Rabia
Wanita lansia seperti rabia yang kini hidup sebatangkara mengisi sisa-sisa
hidupnya, seharusnya menjadi kewajiban dan tanggungjawab negara untuk mengurus
kebutuhan hidupnya, sesuai amanah undang-undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar