Tradisi rambu solo atau upacara pemakaman ala masyarakat Tanah toraja, juga dilestarikan masyarakat keturunan Toraja-Mamasa di polewali mandar sulawesi barat. Meski sejumlah rangkian prosesi rambu solo ditiadakan karena menghargai komunitas pemeluk agama lain disekitarnya, namun secara keseluruhna prosesi Rambu solo yang menyedot perhatian wisatawan dan ribuan warga terutama warga keturunan Toraja ini tetap khidmat.
Sebelum
upacara pemakaman berlangsung, prosesi ritual rambu solo yang digelar warga
keturunan toraja mamasa di kelurahan lantora polewali mandar ini diawali dengan
mappasitandu tedong atau adu kerbau. Kerbau
yang telah diadu di lapangan atau di tengah sawah yang disaksikan warga ini,
selanjutnya disembelih dnegan cara ditombak hingga mati.
Makin
banyak kerbau yang ikut diadu dan ditombak, menunjukkan kekayaan dan ketinggian
satus sosial atau kebangsawanan bagi pemilik hajatan. Tradisi rambu solo yang
biasanya mengorbankan sampai ratusan ekor kerbau dan babi ini umumnya digelar
hanya dikalangan bangsawan toraja. Kerbau yang telah ditombak ini selanjutnya
dibagi-bagikan dagingnya ke sanak tetangga, undnagan dan keluarga yang hadir.
Sebelum jenazah
diarak ke tempat pemakaman terakhir, diawali dengan sejumlah rangkaian prosesi
adat seperti nyanyian sebagai simbol doa keluarga kepada almarhum, agar
menghadapi alam akhirat dnegan penuh keceriaan.
Saat
jenazah yang telah dikremasi siap-siap diarak ke tempat bpemakaman terakhir. Seekor
kembau kembali disembelih dnegan cara ditombak dan bukan dipotong sesuai
tradisi moyang toraja yang dahulu berburu hewan liar di hutan dengan cara
ditombak. Darah kerbau yang telah disembeli selanjutnya diinjak oleh keluarga
secara bergantian. Ritual ini sebagai bentuk doa penghormatan terakhir agar
jenazah almarhum diterima di alam baqa dan keluarga yang ditinggalkan tidak
berada dalam kesusahan atau penderitaan.
Sebelum
meningalkan rumah duka/ jenazah diarak bolak balik sebanyak tiga kali sebelum
ditandu ke tempat pemakaman// ratusan keluarga pun memberi penghormatan
terakhir// isak tangis tak terbendung saat jenazah akan dilepas.
Jenazah
kemudian ditandu di sepanjang jalan sambil diangkat berkali-kali dan para pelayak
bersorak ria di sepanjang jalan hingga ke tempat pemakaman. Menurut adat dan
tradisi keturunan warga toraja, tak boleh ada tangis dan rasa sedih saat
jenazah menigggalkan rumah hingga ke tempat pemakaman agar arwahnya diterima
dengan penuh kegembiraan di alam baka.
Sebelum
dimasukkan ke kuburan, jenazah didoakan terakhir kalinya oleh seorang pendeta
agar arwahanya selamat di alam akhirat.
Jika warga
tanah toraja mengebumikan keluarganya di sela gunung batu, namun karena tak ada
gunung batu di polewali mandar, warga keturunan toraja mengebumikan sanak
keluarganya di sebuah bagunan atau kuburan raksasa//
Silvanus
palasa, kelurga besar almarhum maryam saleppang menyebutkan tradisi tardisi rambu solo dilakukan masyarakat
keturunan toraja sejak nenek moyang mereka sampai masyakat toraja dan mamasa
mengenal agama kristen sebagai salah satu keyakinan mereka. Tradisi rambu solo ini
tetap dilestarikan. “Ini tradisi bukan agama yang tetap dilestarikan masayarkat
ketuurnnaToraja mamasa hinga kini.”ujar Silvanus palasa, kelurga besar almarhum
maryam saleppang
Upacara
rambu solo sendiri umumnya hanya digelar oleh kalangan bangsawan toraja mamasa
termasuk di tempat perantauan mereka. Masyarakat toraja tetap mempertahankan
tradisi mereka.
Ritual rambu
solo yang menyedot perhatian ribuan warga ini kerap jadi objek wista budaya
yang memperkaya khasanah kebudayaan lokal di polewali mandar. (Mandar, 03042013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar